Jakarta, AkselNews.com – Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menggelar forum diskusi terbatas, di Function Hall 9, Gedung Mohamad Sadli Kampus Universitas Indonesia Salemba, Rabu (8/2/2023) tadi.
Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian kemeriahan acara HUT ke-60 LM FEB UI yang jatuh pada awal tahun ini. Kepala UKM Center FEB UI, Ibu Zahra Kemala, Ph.D, merupakan salah satu peserta dalam LM FORUM: Digitalisasi UKM.
Selain itu, tampak hadir juga Dr. Willem Makaliwe selaku Kepala LM FEB UI, Dr. R. Nugroho Purwantoro selaku Wakil Kepala Bidang Administrasi, Keuangan, dan SDM LM FEB UI.
Selanjutnya ada beberapa konsultan dari Lembaga Management serta dosen dan peneliti dari kalangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang ikut serta dalam diskusi ini.
Dr. R. Nugroho Purwantoro selaku perwakilan dari Jajaran Pimpinan LM FEB UI, dalam sambutannya, menyampaikan, forum ini memberikan kesempatan bagi seluruh peserta untuk memberikan pendapatnya.
Mone Stepanus, berperan sebagai moderator yang mengatur jalannya diskusi agar tetap mengacu kepada tujuan diskusi yang telah ditentukan.
Sesi awal, fokus membahas gambaran umum UKM di Indonesia saat ini. Mone, membuka sesi diskusi dengan membahas peranan penting UKM bagi perekonomian dan menerangkan kepada para peserta forum agar dapat memetakan permasalahan yang dihadapi UKM dan memberikan solusi pemecahannya.
Zahra Kemala, Ph.D. memaparkan hasil survei yang dilakukan oleh UKM Center FEB UI. Sebanyak 61% pemilik UMKM berumur lebih dari 40 tahun, 37% berumur 25-40 tahun, dan 2% berumur kurang dari 25 tahun.
Sementara dari tingkat pendidikan, didominasi oleh lulusan SMA sebanyak 40%, lulusan SD sebanyak 22%, lulusan SMP sebanyak 21%, pemegang gelar Sarjana/Master/Doktor sebanyak 11%, serta sebanyak 6% tidak memiliki latar belakang pendidikan.
Salah satu hasil dari survei ini menunjukkan, pelaku UKM sudah mulai aktif menggunakan aplikasi pesan instan dan media sosial, namun masih belum terlalu familiar dengan e-commerce, baik itu dalam kegiatan membeli maupun menjual.
Ibu Hapsari Setyowardhani, MM menjelaskan mengenai dasar hukum dan kriteria dari UKM sesuai Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021. Selanjutnya dilanjutkan mengenai pembahasan mengenai upaya pemerintah dalam pengembangan UKM, mencakup gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia, pembangunan infrastruktur digital dan non-digital, program dana PEN 191 triliun rupiah pada tahun 2021, literasi Indonesia Makin Cakap Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta berbagai diklat bagi para technopreneur.
Rah Yuliantoro menjelaskan, keunikan yang menjadi pembeda UKM dibanding jenis usaha lain,di antaranya adalah change management tidak kompleks karena pegawai yang sedikit, distribusi informasi dan data yang efisien karena rantai birokrasi yang pendek, proses bisnis yang bersifat melebar dikarenakan banyak pekerjaan dikerjakan oleh satu pegawai, serta kecendurangan UKM untuk menjadi tech acceptor, tidak innovation driven dan tidak menjadikan teknologi sebagai sesuatu yang bisa menambah competitive advantage.
Dr. Anna Amalyah, dalam kesempatan ini juga menceritakan pengalamannya saat bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta dalam program JakPreneur. Program ini lebih banyak diikuti oleh peserta dengan usia 40 tahun keatas dan difokuskan ke bagian pendampingan daripada pelatihan, agar para pelaku UKM dapat meningkatkan kualitas usahanya tanpa harus mengorbankan waktunya untuk tetap melakukan aktivitas jual beli dengan pelanggan.
Ada fenomena menarik di kalangan pelaku UKM yang masih muda, pada rentang kelompok umur 20-29 tahun. Kelompok ini lebih memilih untuk menjadi reseller produk dari salah satu platform e-commerce China karena menghasilkan margin yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis usaha konvensional.
Sesi selanjutnya mendalami isu dan masalah yang berkaitan dengan UKM. Ibu Hapsari menerangkan bahwa ada beberapa isu dari pemerintah, seperti belum adanya database yang rapi, program yang tumpang tindih dan berulang, belum adanya koordinasi yang efektif, serta banyaknya pelaku UKM mengikuti diklat hanya fokus ke bantuan modal yang diberikan, bukan ke substansi pelatihan.
Dilihat dari perspektif lain, Ibu Zahra dan Bapak Rah menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh pelaku UKM. Berdasarkan hasil survei, Ibu Zahra menyebutkan bahwa masih banyak pelaku UKM yang memiliki kerangka pikir tradisional, gadget yang outdated, waktu yang terbatas karena sibuk dengan aktivitas jual beli, infrastruktur jaringan yang terbatas, serta kurangnya akses terhadap informasi.
Rah menambahkan bahwa tantangan yang dihadapi di antaranya adalah tidak adanya kesinambungan hidup pada usaha yang dijalankan, literasi keuangan tidak efektif, literasi digital tidak terpahami dengan baik, dan banyaknya persaingan dalam e-commerce. Perlu digarisbawahi pula, bahwa memasuki platform e-commerce adalah digitalisasi pasar, bukan digitalisasi UKM.
Sesi terakhir fokus membahas solusi dan pemecahan masalah. Hapsari menggagaskan bahwa perlu adanya satu big data yang dikelola pemerintah sebagai database UMKM seluruh Indonesia.
Database ini dapat digunakan oleh berbagai instansi pemerintahan maupun oleh pelaku UMKM untuk keperluan pemetaan pasar dan mengelola persaingan. Selain itu, perlu adanya dukungan dari pemerintah lokal seperti pemda atau pemkot dalam hal pendampingan UMKM naik kelas.
Optimalisasi lokalisasi layanan pun perlu dilakukan oleh pemerintah, terutama untuk usaha kuliner. Ibu Zahra menambahkan bahwa pemerintah perlu membuat roadmap digitalisasi UKM, mengadakan pelatihan digital yang disesuaikan dengan segmentasi pasar, meningkatkan standar pelayanan ekosistem digital, dan perlu adanya suatu komunitas yang dapat saling mendukung praktik digitalisasi UKM.
Berdasarkan pengalaman terdahulu, Zahra pun menyebutkan bahwa pelatihan digitalisasi perlu dilakukan kepada seluruh karyawan, tidak hanya pemilik usaha, karena sering kali materi tidak tersampaikan dengan efektif sampai level pelaksana sehingga menghambat proses transfer ilmu yang dilakukan oleh pemerintah.
Dalam hal teknis pelatihan bagi pelaku UKM, Bapak Rah mengusulkan agar adanya suatu kuesioner untuk para peserta pelatihan, assessment form, indexing directory, dan journey card yang diisi secara berkala.
Dr. Anna Amalyah pun menambahkan mengenai pentingnya aspek branding bagi UKM, bahwa lebih baik fokus ke online profile seperti situs resmi atau media
sosial, karena UKM memiliki banyak keunikan yang harus ditonjolkan oleh para pemiliknya. Sebagai tilikan tambahan, Bapak Imanul Hakim Camil selaku Kepala Divisi Digital Economy ILUNI FEB UI memberikan alternatif lain untuk pengembangan UKM.
Berdasarkan pengalamannya, jauh lebih efektif menggunakan skema super offtaker daripada program
pendampingan. Jadi bentuk usahanya yang dimitrakan dengan merek dan kualitas yang sudah terjamin agar omset lebih terjaga. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa pelaku UKM selalu fokus ke omset penjualan, makanya sulit bagi mereka untuk mengikuti program pelatihan maupun pendampingan yang mengorbankan banyak waktu dan tenaga mereka yang bisa dialokasikan untuk berjualan. Tujuan dari skema ini adalah agar terciptanya sebuah ekosistem dengan omset UKM yang sehat. Bentuk kerja sama nya akan lebih banyak melibatkan BUMDES.
Kegiatan ini diakhiri oleh closing statement dari Jajaran Pimpinan LM FEB UI. Bapak Willem berpendapat bahwa keunikan UKM harus senantiasa dijaga karena banyak kelebihan UKM dibanding usaha yang lebih besar. Pengembangan UKM harus lebih banyak melibatkan senior dengan usia 40 tahun keatas agar dapat memperluas jaringan UKM yang kuat dan autentik.
Nugroho menjelaskan mengenai peran Kementerian maupun Lembaga yang dapat diperkaya menjadi sentra pelayanan yang lengkap bagi para pelaku UKM. Diharapkan pemerintah dapat menyediakan fasilitas dan layanan yang berkaitan dengan UKM, lalu pelaku UKMnya sendiri yang memilih mana yang akan mereka gunakan atau ikuti. Bentuk seperti ‘supermarket’ ini juga diharapkan dapat menjadi suatu platform matchmaking antar pelaku UKM dalam memulai bentuk kerja sama baru. (rel)